Hakikat Pendidikan Karakter


1. Pendidikan

Menurut Purwanto, pendidikan merupakan segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[1] Dari pemaparan tersebut maka diperoleh dua komponen yang saling terikat satu dengan lainnya yaitu orang dewasa dan anak-anak. Bila dianalogikan secara sederhana, seorang dewasa mempunyai peran sebagai sopir yang hendak mengantarkan penumpangnya ke suatu tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan yang bertindak sebagai penumpang di sini adalah anak-anak/siswa yang berhak mendapat pengetahuan dan pengalaman baik yang belum dimiliki maupun telah dimiliki sebagai modal pada proses pendidikan yang bermuara pada proses pembelajaran di suatu lingkup/satuan pendidikan tertentu. Adapun kendaraan yang dikendarai merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pada proses pendidikan yang hendak dikembangkan (indikator) pendidikan yang hendak dicapai. Adapun muara dari proses pendidikan di sini adalah kedewasaan siswa (peserta didik) yang melaksanakan proses pendidikan dengan bantuan dan pendampingan dari orang dewasa (pendidik).

Dalam definisi yang lebih sederhana, Purwanto menjelaskan bahwa pendidikan merupakan pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.[2] Pada proses pendidikan di sini, seorang dewasa dianggap memiliki peranan penting dalam mengantarkan siswa untuk melaksanakan proses pendidikan pada suatu jenjang pendidikan baik secara formal, informal, maupun  nonformal. Pendidikan merupakan rangkaian instruksi yang perlu dilaksanakan oleh pelaksana pendidikan itu sendiri yaitu siswa, sedangkan penyampai instruksi/informasi adalah orang dewasa, dalam hal ini adalah guru.

Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi siswa.[3] Usaha sadar berarti bahwa apa yang dilakukan (dalam proses belajar) merupakan rangkaian proses kegiatan yang pada dasarnya merupakan skenario (yang direncanakan oleh perencana/perancang) proses pembelajaran. Usaha sadar juga dapat diartikan bahwa, pada dasarnya siswa menyadari adanya suatu proses perubahan maupun penambahan pengalaman yang terjadi pada proses pendidikan dengan bermuara pada proses pembelajaran pada lingkup tertentu. Sistematis merupakan tahapan pada suatu proses yang akan dijalankan guna pencapaian sebuah indikator ketercapaian.

Albertus menggambarkan pemikiran filsuf bernama Niccolo Machiavelli mengenai pendidikan, bahwa:

Pendidikan merupakan sebuah fenomena antropologis yang usianya hampir setua dengan sejarah manusia itu sendiri. Ia (Niccolo Machiavelli) memahami pendidikan dalam kerangka proses penyempurnaan diri manusia secara terus-menerus. Ini terjadi karena secara kodrati manusia memiliki kekurangan dan ketidaklengkapan.[4]

Dari uraian di atas dapat dipaparkan bahwa pendidikan bukan merupakan suatu hal/isu baru yang terjadi pada proses kehidupan individu pada saat sekarang ini, sejak pertama adanya individu yang berkumpul menjadi sebuah komunitas, maka di situlah proses pendidikan terjadi. Selama ada sekumpulan individu yang berada pada sebuah komunitas tertentu, maka dapat dipastikan pada komunitas tersebut terjadi proses pendidikan, bahkan secara individu sekalipun proses pendidikan dipastikan terjadi  secara terus-menerus. Proses pendidikan dapat terjadi ketika individu mengalami sebuah kejadian di mana rasa keingintahuannya muncul. Rasa ingin tahu ini muncul ketika individu tidak atau belum mampu memahami suatu peristiwa/pengalaman yang belum pernah dialami sebelumnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu (inquiry) dari dalam dirinya. Berawal dari rasa ingin tahu tersebut, maka proses pendidikan terjadi yang bermuara pada cara mereka untuk mempelajari sesuatu/hal baru  yang belum pernah dialaminya. Dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan pula, setiap individu akan mengalami proses perkembangan dalam hal pengetahuan yang mereka miliki sehingga dari hari ke hari pengetahuan individu pastinya akan bertambah. Pendidikan merupakan cara yang dilakukan untuk melengkapi kekurangan yang dimiliki individu agar dapat menutupi kekurangan tersebut melalui proses belajar.

Dari kajian filsafat, pendidikan merupakan hasil turunan verba education (Inggris) yang merupakan bentuk nomina turunan dari verba latin educare yang berarti melatih.[5] Secara rinci, Khan menambahkan bahwa pendidikan juga dapat berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia agar dapat berkembang dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya dan juga lingkungannya.[6] Definisi di atas sejalan dengan pemaparan Albertus yang menjabarkan secara etimologis kata education dalam dua artian yaitu educare dan educere.[7]

Educare berarti melatih atau menjinakkan, menyuburkan. Maksud melatih/menjinakkan di sini berafiliasi pada analogi seekor hewan yang sering digunakan manusia untuk beternak. Manusia berusaha untuk menjinakkan hewan yang akan diternakkan agar menjadi jinak sehingga mudah dikontrol dan dapat  diberdayakan maupun dibudidayakan oleh manusia untuk suatu tujuan tertentu. Menyuburkan merupakan analogi dari seorang petani yang menggarap lahan pertaniannya agar dapat tumbuh subur segala tanaman yang ditanam di lahan tersebut sehingga akan menghasilkan produksi/panen yang berlimpah. Dari kedua analogi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, dan membuat yang tidak teratur menjadi teratur, yang susah diatur menjadi mudah diatur, dan membuat yang mudah diatur menjadi lebih teratur.

Pendidikan merupakan sebuah cara/tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu titik keteraturan yang elegan dan bersifat dinamis. Pendidikan berarti sebuah proses pengembangan diri pada individu untuk mengembangkan bakat,  minat, dan kemampuan baik secara akademis maupun non-akademis yang dikembangkan dalam lingkungan pendidikan, baik secara formal, non-formal, maupun informal.

Educere merupakan gabungan dari kata ex (keluar dari) dan kata kerja ducere (memimpin).[8] Secara sederhana dapat ditafsirkan bahwa proses educare merupakan implementasi pendidikan yang melibatkan dua unsur yaitu pemimpin dan pengikut yang dipimpinnya. Maksud artian keluar di sini adalah, bagaimana individu dapat mengatasi dan keluar dari suatu permasalahan dan kekurangan dari dalam diri untuk kemudian dicari sebuah solusi guna mengatasi permasalahan yang dihadapi.

Pola berpikir dan bertindak untuk keluar dari kesusahan merupakan proses psikis dan kognitif yang dimaksudkan bahwa hakikat manusia yang enggan hidup susah dengan melarikan diri/keluar dari kesulitan dan kekurangan hidup yang dialami. Proses keluar ini setidaknya memerlukan seorang panutan untuk dijadikan pimpinan/contoh sehingga individu yang dimaksud tidak salah langkah ketika memutuskan untuk keluar dan mengambil langkah yang telah diputuskannya. Bisa dihubungkan dalam paradigma lama, proses seperti ini (educere) merupakan implementasi dari proses pendidikan yang berafiliasi pada proses pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered). Proses keluar dari keadaan sulit dan menyengsarakan ini dipandang sebagai langkah untuk menuju proses kehidupan yang lebih baik melalui pendidikan secara berkesinambungan.

Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri.[9] Dalam artian ini, banyak hal yang perlu dibicarakan menyangkut pendidikan sebagai proses. Proses pemberdayaan diri menyangkut penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan tingkah laku para siswa yang menjalani proses pendidikan tersebut. Melalui pendidikan, siswa diberikan pengalaman baik yang pernah maupun belum pernah dialami pada proses kehidupan untuk menjadikan manusia yang berdaya guna dan berintelektualitas tinggi secara holistik.

Berdasarkan pemaparan pendidikan yang telah dibahas, maka dapat disintesakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan dalam penelitian ini adalah suatu usaha sadar, terencana, dan terpadu yang dilakukan seorang dewasa terhadap anak (siswa) untuk mencapai satu tujuan tertentu. Paradigma lama menganalogikan pendidikan sebagai sebuah proses instruksional di mana seorang dewasa berusaha memimpin anak (siswa) dalam mencapai proses kehidupan yang lebih baik melalui proses pendidikan itu sendiri. Adapun proses pendidikan yang merupakan paradigma modern merupakan satu bentuk usaha untuk  menjadikan seseorang (siswa) untuk berusaha melalui bimbingan dan bantuan orang dewasa agar dapat memberdayakan diri sesuai minat, bakat, dan sumber daya yang dimiliki.

  1. Karakter

Karakter merupakan bentuk turunan dari bahasa latin yaitu kharassein dan kharax yang dapat diartikan sebagai tools for making (alat untuk membuat  sesuatu).[10] Kata ini mulai marak digunakan dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 yang pada akhirnya diadaptasi ke dalam bahasa indonesia menjadi sebuah kata yaitu “karakter”.[11] Definisi lainnya secara sederhana diungkapkan Hornby dan Parnwell dalam Hidayatullah yang merngartikan karakter sebagai kualitas mental/moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.[12]

Karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi dan tindakan.[13] Stabil merujuk pada satu pola/cara pandang maupun sikap yang merupakan implementasi sebuah ketetapan/konsistensi dalam melakukan dan mengambil keputusan tertentu yang melibatkan cara pikir, pengambilan keputusan, dan melakukan tindakan atas apa yang telah dipikirkan dan diputuskan. Proses konsolidasi yang dilakukan merupakan bentuk implementasi perpaduan antara pergaulan individu dalam lingkup/lapisan sosial tertentu dengan sikap pribadi di mana kemampuan dan keteguhan hati individu diuji untuk menentukan aspek mana yang harus dilakukan dan diputuskan oleh individu tersebut.

Serupa namun tak sama, Suyanto dalam Suparlan memiliki pandangan berbeda mengenai karakter yang memandang karakter sebagai suatu cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.[14] Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Secara akal logika dapat dijelaskan bahwa individu yang berkarakter maka akan melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan tata aturan yang berlaku di masyarakat secara logis. Selain itu, individu yang berkarakter kuat idealnya tidak mudah terpengaruh oleh sesuatu yang sifatnya merusak tatanan sistem di dalam kehidupan baik secara individu maupun lingkup yang lebih luas.

Hill dalam Muslich mengatakan bahwa:

Character determines someone’s private thoughts and someone’s action done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behavior in every situation.[15]

Secara tersirat dari pandangan Hill tersebut mengandung makna mendalam bahwa dengan karakter, seseorang akan menentukan sikap dan tindakan yang bermuara pada munculnya keputusan setelah melalui berbagai pertimbangan secara komprehensif dari akal pikiran dan hati nurani terhadap suatu kejadian yang perlu disikapi secara cepat dan tepat. Karakter sendiri mengajarkan suatu kebiasaan untuk berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal demikian tentunya membutuhkan suatu pengalaman dan pemikiran yang komprehensif pula sehingga seorang individu mampu berpikir dan bertindak secara logis dan terpuji dalam proses kehidupannya di tengah masyarakat yang sangat plural seperti pada proses kehidupan dewasa ini.

Suwondo memberikan pandangan berbeda yang menyatakan bahwa karakter merupakan gabungan dari pembawaan lahir dan kebiasaan yang kita dapatkan dari orang tua dan lingkungan kita, yang secara tidak sadar mempengaruhi seluruh perbuatan, perasaan, dan pikiran kita.[16] Jadi, dapat ditarik satu benang merah yaitu pada dasarnya karakter merupakan satu bentuk implementasi pemikiran dan cara berpikir individu dalam memandang, menentukan, menginterpretasikan, mendeskripsikan, menyimpulkan, dan mengambil suatu tindakan yang terbentuk karena proses kontinuitas secara signifikan melalui proses belajar individu, sosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat maupun individu lain, yang akhirnya membentuk pola pikir dan cara pandang pada masing-masing individu. Karakter dapat dibentuk melalui pembiasaan yang dilakukan melalui implementasi proses kehidupan baik yang disadari maupun yang tidak disadari oleh individu yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pembentukan karakter, kecenderungan keterlibatan lingkungan (faktor eksternal individu) memegang peranan penting dalam proses pembentukan karakter seseorang.

Hasan, et. al mendefinisikan karakter sebagai suatu watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.[17] Dalam pandangan ini, karakter dapat dikatakan sebagai sebuah dasar pijakan dari segala hal sebagai pedoman dan sumber dalam cara berpikir, bersikap, maupun bertindak dan melakukan keputusan tertentu. Adapun kebajikan itu sendiri merupakan suatu bentuk dari implementasi proses pendidikan moral. Lebih lanjut Hasan, et. al memaparkan bahwa kebajikan dibangun atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.[18] Apabila ditarik satu garis lurus, maka dapat dijabarkan bahwa pembentukan kebajikan-kebajikan satu diantaranya adalah moral mendasari proses pembentukan karakter yang baik. Adapun kebajikan itu sendiri merupakan kumpulan dari suatu sikap-sikap dan tindakan baik dan terpuji yang mendasari proses pembentukan kebajikan itu sendiri. Dari proses pembentukan karakter melalui penanaman kebajikan-kebajikan ini, akan terbentuk insan yang berkarakter kuat dan mandiri. Dalam diri seseorang yang memiliki karakter kuat, akan menjadi modal dalam berinteraksi dengan individu maupun lingkungan sosial lainnya. Sehingga proses interaksi antar individu menumbuhkan karakter masyarakat dan  karakter bangsa yang kuat pula.

Lickona, et.al. memberikan batasan berupa ciri dari karakter itu sendiri yang menyatakan bahwa “good character involves understanding, caring about, and acting upon core ethical values[19] (karakter yang baik dibangun atas dasar sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan untuk membantu individu mengerti dan memahami, peduli terhadap sesuatu yang ada di dalam maupun di sekitarnya, dan bertindak di bawah aturan-aturan/nilai-nilai positif). Ketiga asek ini merupakan inti/dasar dari proses pendidikan karakter yang akan dikembangkan pada proses pendidikan sebagaimana diungkapkan Lickona.

Seorang filsuf Yunani, Heraclitus dalam Lickona mengatakan bahwa “character is destiny”[20] (karakter merupakan tujuan). Sebuah karakter merupakan dasar yang akan dituju seorang individu. Apabila karakternya baik, maka tujuan yang dicapai dengan jalan yang baik akan baik pula. Bentuk karakter individu ini akan menghasilkan komunitas/kumpulan individu yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter secara individu terlebih dahulu.

Soedarsono memberikan argumennya seputar proses pembentukan karakter yang menyamakannya dengan proses pembinaan dan pengembangan watak, bahwa ;

“membentuk watak harus dimulai sejak bayi dalam kandungan karena secara genetik bayi dapat “mewarisi” sifat dan sikap orang tuanya (keturunan dan keluhuran) dalam wujud bakat, kecerdasan, dan temperamen”.[21]

Mengimplementasikan dan mengembangkan satu bentuk/tatanan yang merupakan perwujudan proses pendidikan karakter bukan merupakan sebuah proses instan yang terjadi begitu saja dan dapat langsung dilihat hasil dari pendidikan karakter tersebut. Dibutuhkan waktu, tenaga, dan banyak hal lainnya yang saling mendukung untuk membentuk dan mengembangkan tatanan karakter yang baik agar tercipta sebuah generasi yang memiliki pola pikir dan pandangan yang luas dan bijaksana sehingga melahirkan generasi berbudi pekerti luhur serta mampu mengendalikan emosi dengan baik agar tercipta karakter yang kuat bagi individu tersebut.

Ralph Waldo Emerson, seorang pendidik dari Harvard University menyatakan bahwa “character is higher than intellect”[22] (karakter lebih tinggi dari kecerdasan). Dengan kecerdasan seseorang mampu secara akal menentukan sesuatu yang diperlukan dalam memecahkan sesuatu masalah, namun jauh lebih dari itu dengan karakter melalui pertimbangan pikiran (akal) dan hati (emosional/afektif) seseorang akan lebih mempertimbangkan mendalam apa yang perlu dilakukan. Orang baik lebih dihargai daripada orang pintar. Orang pintar dan berkarakter kuat akan lebih dihormati  dan dihargai daripada orang pintar yang hanya mengagungkan pemikiran secara akal pikiran (logika).

Covey mengatakan  bahwa “you must do good, and to do good, you must first be good”[23] (anda harus melakukan kebaikan, untuk melakukan kebaikan anda harus menjadi baik terlebih dahulu). Untuk menjadi baik, tidak hanya sebatas melalui rencana ataupun sebuah niat (yang hanya ada di dalam hati), perlu diimplementasikan melalui tindakan yang terlihat nyata. Dengan berniat untuk menjadi baik, diperlukan satu implementasi yang dilakukan pada proses kehidupan. Untuk mempraktikkan hal baik tersebut, perlu adanya niat untuk berbuat baik. Untuk berbuat baik, perlu diawali dengan menjadi baik (baik secara intelektual, psikososial, maupun pada proses sosialisasi yang melibatkan banyak individu). Maka dapat dikatakan bahwa dengan berniat dan berpikiran baik, akan tercipta tindakan dan kelakuan yang baik, sebaliknya dengan bertindak baik perlu didasari adanya perencanaan dan niat di dalam hati untuk beritikad baik.

Sebagaimana dikatakan Covey, Semiawan memberikan gambaran bagaimana melakukan suatu kebaikan dengan menjadi baik terlebih dahulu yang disamakan dengan prinsip pengembangan karakter bahwa:

Prinsip pengembangan karakter berkenaan dengan diri yang terdalam  yang ada dalam diri manusia yang sifatnya intangible dan harus didekati dengan intrinsic education, berbeda dari instructional objective dalam pendidikannya yang lebih bersifat pragmatis.[24]

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa proses kehidupan yang pragmatis dalam proses pendidikan (khususnya di sekolah), hendaknya dapat mengembangkan  karakter yang telah dilahirkan sebagai blue print dalam diri masing-masing siswa yang berbeda satu dengan lainnya. Proses pengembangan karakter melalui proses pragmatis ini dimaksudkan bahwa karakter tidak dipelajari secara tersurat ataupun berdiri sendiri dalam satuan pelajaran tertentu, tetapi tersirat pada nilai-nilai mata pelajaran yang dipelajari maupun diimplementasikan dalam proses kehidupan baik di sekolah, masyarakat, maupun keluarga.

Berdasarkan paparan definisi karakter, dapat disintesakan bahwa karakter adalah bentuk/perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan diamati oleh orang lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar individu yang tercipta dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing individu dalam ruang lingkup kejadian yang dialami individu tersebut baik di lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah. Hasil pembiasan akan menciptakan satu nilai yang bermuara pada pembentukan karakter masing-masing individu yang membedakan satu individu dengan lainnya.

  1. Komponen Pendidikan Karakter

Williams dan Megawangi memandang proses pendidikan karakter merupakan proses pembentukan budi pekerti plus yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).[25] Integrasi diantara ketiganya akan menciptakan satu bentuk/tatanan terpadu yang bermuara pada proses pembentukan karakter. Siswa sebagai subyek pendidikan di sekolah perlu diberikan satu pengalaman dan pembelajaran yang mencakup aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Dengan modal pengetahuan, siswa dapat memiliki ilmu pengetahuan agar siap digunakan sebagai bekal pada proses kehidupan yang akan dialami di masa yang akan datang. Melalui perasaan, ilmu pengetahuan yang tidak terbatas akan dikendalikan dan dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek emosional. Adapun tindakan yang dihasilkan merupakan perwujudan dari proses pengembangan pengetahuan (cognitive) melalui pertimbangan perasaan (feeling). Secara tersirat dapat diambil satu konsep pemikiran bahwa proses pendidikan yang bermuara pada pembelajaran (baik secara kurikuler, ekstra kurikuler, maupun ko-kurikuler) tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yang melibatkan ketiga aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Ketiganya merupakan satu integrasi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Hal senada dikatakan Munir bahwa kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang, gen hanya menjadi salah satu faktor penentu saja (bukan hal mutlak dalam penentuan dan penciptaan suatu karakter).[26] Bila disintesakan, apa yang dipaparkan Yahya dengan Munir terdapat satu benang merah bahwa pendidikan karakter akan dapat terlaksana secara optimal bila proses pendidikan yang berafiliasi pada pendidikan karakter dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Melalui pembiasaan inilah, karakter individu terbentuk.

Dari sudut pandang lain, kaitannya dengan proses pembentukan karakter individu, Hamijoyo dalam Hasan menggambarkan bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha ke arah dinamisasi dan pencerdasan masyarakat dengan tujuan mempertinggi daya pikir dan daya kerja rakyat melalui bentuk dan prosedur kooperatif yang berswadaya.[27] Proses pendidikan yang dinamis dan elegan memerlukan proses daya pikir tinggi. Untuk menciptakan manusia yang berpikir tinggi (kualitas) memerlukan materi dan lingkungan yang mendukung proses tersebut. Kebiasaan mengalami proses kehidupan dalam lingkungan yang hampir setiap hari mengalami perubahan secara signifikan baik perubahan yang bersifat maju ataupun mundur, insan yang mampu menyikapi secara cerdas akan memandang proses perubahan tersebut sebagai hal wajar dan tidak perlu dirisaukan. Yang terpenting di sini adalah bagaimana cara menyikapi perubahan yang terjadi dengan hal-hal positif dan menjadikan perubahan yang terjadi itu sebagai sesuatu untuk berpikir dan bertindak progresif pula sehingga mampu beradaptasi dengan keadaan yang selalu berubah tersebut.

Dalam sumber lainnya, Lickona menyatakan bahwa karakter itu sendiri memiliki tiga unsur yang memiliki relasi kuat diantara ketiganya hubungannya dengan moral, antara lain; (1) moral knowing, (2) moral feeling, (3) moral behavior.[28] Dari ketiganya dijabarkan lagi menjadi beberapa perwujudan sikap dan tindakan yang semuanya merupakan komponen pembentuk karakter secara terpadu dan terintegrasi. Hal tersebut sebagaimana dikatakan Lickona dalam paparan selanjutnya yaitu;

…moral knowing, feeling, and action do not function as separate spheres but interpenetrate and influence each other in all shorts of ways.[29]

(…pengetahuan moral, perasaan, dan tindakan tidak berfungsi sebagai satuan terpisah tapi merupakan satu kesatuan dan berpengaruh satu dengan lainnya dalam satu langkah terpadu).

Dapat disintesakan berdasarkan pemaparan Lickona tersebut bahwa ketiga konsep yang membangun karakter seseorang melalui proses pendidikan di atas bukan merupakan komponen yang berbeda dan memisahkan satu dengan lainnya. Ketiganya merupakan satu kesatuan dalam sebuah sistem. Untuk membangun sistem itu sendiri agar kuat dan kokoh diperlukan satu upaya agar ketiga unsur tersebut dapat diimplementasikan dan dilakukan individu pada proses kehidupan mereka, sehingga karakter individu dimaksud dapat terbangun, terpelihara, berkembang, dan kuat.

Pada sumber yang berbeda Lickona dalam Zubaedi menyatakan bahwa karakter berkaitan erat dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral action).[30] Berdasarkan ketiga komponen tersebut, daat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan baik.

Adapun ketiga komponen pembentuk karakter menurut Lickona terbangun atas nilai-nilai kebaikan yang saling beririsan satu nilai dengan nilai lainnya, berikut ini:

MORAL KNOWING

  1. Moral awareness
  2. Knowing moral values
  3. Perspective-taking
  4. Moral reasoning
  5. Decision-making
  6. Self-knowledge

MORAL FEELING

  1. Conscience
  2. Self-esteem
  3. Empathy
  4. Loving the good
  5. Self-control
  6. Humility

MORAL ACTION

  1. Competence
  2. Will
  3. Habit

Gambar 2.1. Components of Good Character by Thomas Lickona.[31]

Berdasarkan pembagian karakter dalam tiga komponen oleh Lickona di atas untuk kemudian dikembangkan dalam masing-masing subkomponen sesuai komponen masing-masing. Moral knowing (pengetahuan moral) berhubungan dengan bagaimana seorang individu mengetahui sesuatu nilai yang abstrak yang dijabarkan dalam 6 sub komponen, antara lain: (a) moral awareness (kesadaran moral); (b) knowing moral values (pengetahuan nilai moral); (c) perspective-taking (memahami sudut pandang lain); (d) moral reasoning (penalaran moral); (e) decision-making (membuat keputusan); (f) self-knowledge (pengetahuan diri). Moral feeling (sikap moral) merupakan tahapan tingkat lanjut pada komponen karakter yang dijabarkan dalam 6 sub komponen, antara lain: (a) Conscience (nurani); (b) Self-esteem (harga diri); (c) Empathy (empati); (d) Loving the good (cinta kebaikan); (e) Self-control (kontrol diri); (f) Humility (rendah hati). Moral action (perilaku moral) dibangun atas 3 sub komponen antara lain: (a) Competence (kompetensi); (b) Will (keinginan); (c) Habit (kebiasaan).

Ryan dalam Makagansa dan Nainggolan memberikan pandangan terhadap implementasi proses pendidikan di sekolah yang memberikan tempat terhadap penanaman, pembentukan, dan pengembangan karakter bahwa “character education is teaching students to know the good. It is cognitive, emotional and behavioral. It integrates head, heart and hands. It places equal importance on all three[32] (pendidikan karakter mengajarkan siswa untuk mengetahui dan mengerti kebaikan. Yaitu kognitif, emosi, dan tindakan. Yang mana ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan terintegrasi di dalam kepala (otak), hati (emosi), dan tangan (tindakan). Kevin melanjutkan pernyataan tersebut dengan prinsip pendidikan karakter yang diimplementasikan oleh siswa  pada satuan pendidikan khususnya SD yang membaginya dalam 3 tingkatan, antara lain; “knowing the good, loving the good, and doing the good”[33] (mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan). Ketiga hal tersebut dapat dikatakan sebagai satu bentuk tahapan dalam mengimplementasikan dan mengembangkan pendidikan karakter sebagai satu upaya untuk mencerdaskan dan membentuk karakter maupun kehidupan bangsa. Cerdas di sini, tidak hanya sebatas cerdas secara akal pikiran, akan tetapi cerdas melalui perasaan dengan melakukan tindakan yang tepat dan nyata sebagai perwujudan karakter yang baik.

Secara prinsip, konsep pengembangan karakter dalam satuan pendidikan di Indonesia sendiri berafiliasi pada prinsip pengembangan “olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga”.[34] Olah hati menghasilkan satu sikap dan tindakan untuk berkata, bersikap, dan berperilaku jujur dan apa adanya tanpa menutupi, menambah, dan mengurangi atas sesuatu yang memang harus disampaikan. Olah pikir dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berpikir cerdas dan merasakan haus akan pengetahuan (membutuhkan pengetahuan) baru. Implikasi dari olah pikir ini akan menghasilkan kemampuan inquiry dan bermuara pada prinsip ilmiah bagaimana mencari dan menemukan satu pengetahuan dan pemahaman terkait dengan apa yang sedang dipelajari (bukan diberikan melalui proses pembelajaran secara sistematis dan pasif). Olah rasa merupakan bentuk implementasi dari adanya keinginan siswa untuk berharap dan memiliki cita-cita. Implikasi dari olah rasa mendorong siswa lebih optimis dalam meraih dan mempersiapkan masa depan yang terencana dan dipersiapkan dengan baik oleh siswa itu sendiri (bukan orang tua, guru, lingkungan, maupun komponen lainnya yang berhubungan dengan siswa). Olah raga merupakan merupakan operasional yang dilakukan untuk senantiasa menjaga kondisi tubuh dan stamina agar siswa dapat melaksanakan proses persiapan meraih cita-cita dan tujuan yang telah direncanakan (olah rasa) sehingga siswa lebih mudah memperhatikan keempat aspek yang memang sangat berpengaruh satu dengan lainnya.

Megawangi menjabarkan sebuah proses dalam rangka pembentukan karakter secara sistemik yang perlu dilakukan secara integral dengan melibatkan aspek knowing (mengetahui), acting (melatih dan membiasakan diri), serta feeling (perasaan).[35] Aspek knowing dimaksudkan bahwa siswa dapat mengerti dan memahami adanya unsur kebaikan yang harus ditanamkan dalam diri mereka dan muncul bukan karena faktor-faktor eksternal tetapi bagaimana sikap yang baik dapat menciptakan sifat baik sehingga karakter menjadi baik. Acting bermuara pada tindakan yang bersumber dari perpaduan antara aspek feeling dan knowing. Seorang siswa akan bertindak baik manakala pengertian dalam akal pikiran dan feelingnya baik, begitupun sebaliknya.

Hasan, et. al. menjabarkan secara runtut komponen karakter yang dipadupadankan dalam bentuk Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, antara lain:

Tabel 2.2. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa[36]

 

Nilai

Deskripsi

 

 

1

Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2

Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3

Toleransi

Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4

Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5

Kerja keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6

Kreatif

Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7

Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8

Demokratis

Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9

Rasa ingin tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10

Semangat kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11

Cinta tanah air

Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12

Menghargai prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13

Bersahabat/ komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14

Cinta damai

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15

Gemar membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16

Peduli lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17

Peduli sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18

Tanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pemaparan mengenai pendidikan karakter beserta komponen pembangunnya, maka dapat disintesakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter dalam penelitian ini adalah suatu usaha sadar, terencana, dan terpadu yang dilakukan seorang dewasa terhada anak (siswa) untuk mencapai suatu tujuan tertentu sesuai rencana yang dibuat sebelumnya dengan merujuk pada satu perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan diamati oleh orang lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar individu yang tercipta dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing individu dalam ruang lingkup kejadian yang dialami individu tersebut baik di lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah. Hasil pembiasan akan menciptakan satu nilai yang bermuara pada pembentukan karakter masing-masing individu yang membedakan satu individu dengan lainnya. Adapun komponen pembentuk karakter itu sendiri terdiri atas: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.


[1] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 10.

[2] Ibid, h. 10.

[3] Said Hamid Hasan, et. al. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kemdiknas Balitbang, 2010), h. 4.

[4] Doni Kusuma Albertus, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 52.

[5] D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), h. 1.

[6] Ibid, h. 1.

[7] Doni Kusuma Albertus, op. cit, h. 53.

[8] Ibid, h. 53.

[9] Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan : Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis – Sosialis, Postmodern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 27.

[10] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai – mengumpulkan yang terserak, menyambung yang terputus, dan menyatukan yang tercerai (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 102.

[11] Ibid, 102.

[12] M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 9.

[13] D. Yahya Khan, op. cit., h. 1.

[14] Suparlan, “Pendidikan Karakter: Sedemikian Pentingkah, dan Apa Yang Harus Kita Lakukan” dalamhttp://www.suparlan.com/pages/posts/pendidikan-karakter-sedemikian-pentingkah-dan-apa-yang-harus-kita-lakukan-305.php (23 Oktober 2010).

[15] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter – menjawab tantangan krisis multidimensional (Jakarta, Bumi Aksara, 2011), h. 36.

[16] Chandra Suwondo, Karakter Keindahan Sejati Dari Manusia (Jakarta: Metanoia, 2007), h. 3.

[17] Said Hamid Hasan, et. al. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kemdiknas Balitbang, 2010), h. 3.

[18] Ibid, h. 3.

[19] Thomas Lickona, Eric Schaps, dan Catherine Lewis, CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education (Washington DC: Character Education Partnership, 2007), h. 1

[20] Thomas Lickona, Character Matters: How to Help Our Children Develop Judgment, Integrity, And Others Essential Virtues (New York: Touchstone, 2004), h. 4.

[21] Soemarno Soedarsono, Character Building Membentuk Watak: Membentuk Pemikiran, Sikap, dan Perilaku Untuk Membentuk Pribadi Efektif Guna Mencapai Sukses Sejati (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002), h. 138.

[22] Ibid, h. 4.

[23] Stephen R. Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness (New York: Free Press a Division of Simon and Schuster Inc,2004), h. 39.

[24] Conny Semiawan, et.al., Alih Kepakaran (Bogor: Gocara Press, 2011), h. 145.

[25] Russel T. Williams dan Ratna Megawangi, “Semai Karakter Bangsa: Kecerdasan Plus Karakter” dalam http://ihf-org.tripod.com/pustaka/KecerdasanPlusKarakter. htm (13 Nopember 2010).

[26] Abdullah Munir, Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah (Yogyakarta: Pedagogia, 2010), h.5.

[27] Engking Soewarman Hasan, “Strategi Menciptakan Manusia yang Bersumber Daya Unggul”  Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balitbang, Depdiknas, 2002), h. 866.

[28] Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), h. 51.

[29] Ibid, h. 52.

[30] Zubaedi, Disain Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), h. 29.

[31] Thomas Lickona, op. cit. 1991, h. 53.

[32] HR. Makagansa dan JF. Nainggolan, “Pengembangan PAUD Melalui Pendekatan Holistik Integrated” dalam http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id= 81864 (6 Desember 2010).

[33] Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin, Building Character In School: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life (San Fransisco: Joosey-Bass, 1999), h. 5.

[34] Anon, “Pendidikan Karakter Diterapkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” dalam http://smp1banjarnegara.sch.id/archives/253 (19 Nopember 2010).

[35] Ratna Megawangi, Semua Berakar Dari Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007), h. 8.

[36] Said Hamid Hasan, et. al. op.cit, hh. 9 – 10.

About muhammad fajri

manusia hidup untuk berusaha, dengan berusaha manusia akan hidup dan dengan berusaha pula manusia akan dapat menghidupi dirinya sendiri dan orang lain

Posted on 13 Februari 2012, in Uncategorized. Bookmark the permalink. 4 Komentar.

  1. makasi banyak ya artikel sangat bermanfaat buat aq, smoga bertambah banyak ilmunya dan kreatifnya dalam pengembangan pendidikan. smoga berkah dunia akhirat

Tinggalkan komentar